Kamis, 12 Desember 2013

makalah hak kekayaan intelektual



BAB I
LATAR BELAKANG
Perubahan yang sangat penting dalam sistem peradilan di Indonesia di bidang Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property right), atau yang biasa dan selanjutnya disebut HaKI dalam tulisan ini, adalah dibentuknya Pengadilan Niaga yang dapat menyelesaikan sengketa perdata di bidang HaKI. Penyelesaian sengketa perdata di bidang HaKI melalui pengadilan niaga dengan hakim-hakim yang khusus merupakan hal yang baru yang dapat diharapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tepat waktu dengan tetap menjunjung tinggi penegakan hukum dan bersikap adil serta dapat memenuhi harapan masyarakat[1]. Dalam undang-undang HaKI telah mengatur time frame untuk kepastian hukum dalam interval waktu penyelesaian sengketa. Hal ini guna untuk mengimplimentasikan hasil kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang HaKI yang diikuti oleh Indonesia. Kesepakatan internasional merekomendasikan bahwa penyelesaian sengketa di bidang HaKI harus dilakasanakan dalam waktu yang singkat.
Indonesia telah memperaktekkan kesepakatan itu, di mana dalam penyelesaian sengketa di bidang HaKI diselesaikan melalui Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang mengadili permasalahan dalam bidang ekonomi dan bisnis, misalnya dari awal memasukkan perkara sampai dengan putusan di Pengadilan Niaga diberikan waktu 90 hari untuk Hak Citpa dan Merek dan 180 hari atau setengah tahun untuk Paten.
banyak sekali terjadi pelanggaran hak kekayaan intelektual yang terjadi di dunia bisnis baik di luar negeri maupun di Indonesia. Beberapa contoh pelanggaran hak kekayaan intelektual tersebut terjadi dalam bentuk pencurian ide ataupun plagiat pada suatu produk maupun merk terntetu.Maka dari itu makalah ini akan membahas mengenai tsengketa dan cara penyelesaian hak kekayaan intelektual yang terjadi di Indonesia.
Rumusan Masalah :
1.      Bagaimana penyelesaian sengketa hak kekayaan intelektuan di indonesia ?
2.      Bagaimana penyelesaian sengketa HAKI terkait hak cipta, hak merk, hak paten ?








BAB II
PEMBAHASAN

Sengketa hki timbul karena terjadi pelanggaran kepemilikan hki oleh pihak orang lain, yaitu menggunakan atau memanfaatkan secara melawan hukum tanpa persetujuan pemiliknya, di negara kita banyak sekali terjadi pelanggaran HKI.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa HKI dapat dilakukan melalui jalur litigasi yakni peradilan dalam hal ini melalui peradilan negri dan peradilan niaga dan melalui jalur non litigasi (ADR).
1.                  Penyelesaian sengketa HKI melalui peradila niaga
Berdasarkan ketentuan pasal 280 uu nomor 4 tahun 1998 tentan kepailitan kompetensi pengadilan niaga pada dasarnya adalah untuk memeriksa dan memurtuskan perkara perkara :
a.                   Pernyataan permohonan pailit
b.                  Permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang
c.                   Perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan peraturan pemerintah.
HKI berdasarkan penjelasan pasal 66 uu nomor 30 tahun 1999 termasuk dalam ruang lingkup perdagangan dan perniagaan.
2.                  Penyelesaian sengketa HKI melalui pengadilan negri.
Mengingat tidak semua ada dibentuk pengadilan niaga, maka pengadilan negri dapat dipergunakan untuk menyelesaikan kasus kasus hki. Tata cara prosedur mengacu kepada ketentuan hukum perdata.
3.                  Penyelesaian sengketa hki melalui ADR
Selain melalui lembaga peradilan sengketa hki juga bisa diselesaikan melalui ADR, ADR yang paling umum dilakukan adalah dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

Pada era perdagangan global saat ini, Hak Kekayaan Intelektual merupakan permasalahan yang penting karena berhubungan dengan masalah ekonomi dan kegiatan bisnis. Indonesia saat ini mengakui adanya Hak Kekayaan Intelektual dengan meratifikasi Konvensi Hak Kekayaan Intelektual dan Konvensi pembentukan World Trade Organization (WTO) yang berisi tentang TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Setelah meratifikasi konvensi tersebut Indonesia membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
7. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan.
Untuk pertama kalinya Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999 dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.[1]
Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa HKI harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :
Apakah termasuk objek yang dilindungi..
Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.
Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.
Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa HKI lazimnya adalah :
Penggunaan HKI tanpa seizin pemilik.
Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi HKI.

1.                  Cara penyelesaian sengketa HAKI mengenai hak cipta
a.                  Dasar hukum hak cipta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum HAK CIPTA :
·                     UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·                     UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·                     UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·                     UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Persetujuan TRIPs melalui Persetujuan WTO,
mempunyai konsekwensi untuk menerapkan TRIPs didalam Undang-undang Hak Ciptanya. Hal tersebut
telah dilakukan Indonesia dengan menyesuaikan Undang-undang Hak Ciptanya dengan Ketentuan didalam
TRIPs. Penyesuaian yang paling akhir adalah dibuatnya Undang-undang Hak Cipta yang baru yaitu
Undang-undang Nomor 19 tahun 2002. Isi dari Undang-undang ini pada dasarnya merupakan penerapan dari
ketentuan minimal yang ada didalam persetujuan TRIPs.

            Dalam rangka penyelesaian sengketa hak cipta, Undang-undang hak cipta menentukan dapat dilakukan melalui jalur litigasi dari alternatif penyelesaian sengketa. Maksudnya jalur litigasi adalah melalui proses perdata dan pidana. Dalam memeriksa pelanggaran hak cipta melalui jalur perdata, dasar hukumnya adalah Undang-undang Hak Cipta. Apabila Undang-undang Hak Cipta tidak mengaturnya, maka yang berlaku adalah KUHPerdata untuk hukum materilnya dan HIR untuk Hukum formilnya.
            Memeriksa pelanggaran hak cipta melalui jalur pidana, dasar hukunmya adalah Undang-undang Hak Cipta. Apabila Undang-undang Hak Cipta tidak mengaturnya, maka yang berlaku adalah Hukum pidana umum yaitu, KUHP untuk hukum materiiInya dan KUHAP untuk hukum formilnya.

Alternatif penyelesaian sengketa yang diuraikan disini hanya Arbitrase dan Mediasi, karena cara ini yang paling dikenal di Indonesia. Sementara itu Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sedang dikembangkan di peradilan di Indonesia.

Pengaturan pelanggaran hak cipta dari aspek pidana
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa yang namanya melanggar itu akan dikenakan denda pidana maupun secara komersial hal ini kembali lagi pada masing-masing orang. apakah kita mau menjiplak hasil karya orang lain yang akan kena denda dari pasal tersebut atau mengjasilkan suatu karya sendiri dengan atas hak cipta yang kita buat.[2]
2.                  Cara penyelesaian HAKI mengenai merk

Penyelesaian sengketa terhadap merek diatur di dalam hukum indonesia antara lain :
1. Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute Resolution)

Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam penyelesaian sengketa merek diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, selain dalam Undang-Undang Merek penyelesaian sengketa alternatif lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Alternatif.
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi.
a. Negosiasi
Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak[3].
Negosiasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa sudah barang tentu telah berdiskusi atau bermusyawarah sedemikian rupa agar kepentingan-kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan/ kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.8

b. Mediasi

Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (imparsia) yang turut aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian. Namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif penyelesaian tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa.
Dalam kaitan dengan Mediasi menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis, wajib didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
c. Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara profesional sudah dapat dibuktikan kehandalannya.
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga oleh pihak pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis, yaitu :[4]
a. Gugatan ganti rugi, dan/ atau
b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan dengan menggunakan
merek tersebut.

Selain melalui Pengadilan Niaga penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan di Pengadilan Negeri dengan perkara pidana dimana Undang-undang Merek memberikan ancaman pidana kepada setiap orang yang menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya ataupun yang sama pada pokoknya. Kedua bentuk perbuatan ini diklasifikasikan sebagai kejahatan. Besarnya ancaman pidana,ditentukan dalam ketentuan Pasal 90 dan Pasal 91, sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 91 :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.

3.                  Cara penyelesaian HAKI mengenai Hak Paten
Dasar Hukum HAK PATEN :
  • UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
  • UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
  • UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
Penyelesaian sengketa hak paten melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 117 Undang – Undang paten yang mana pihak yang berhak atau yang menjadi subjek paten (diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12) dapat menggugat kepada pengadilan niaga jika suatu paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak.

Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa paten harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :
1. Apakah termasuk objek yang dilindungi.
2. Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan.
3. Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.
4. Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.
5. Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa hak paten lazimnya adalah :
- Ketidak jelasan status kepemilikan.
- Penggunaan hak paten tanpa seizin pemilik.
- Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi hak paten.

Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa paten diharapkan keadilan benar – benar tercapai dan memuaskan. Idealnya setiap putusan Hakim mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. Unsur kepastian hukum.
2. Unsur kemanfaatan.
3. Unsur keadilan.

Sebelum suatu perkara hak paten masuk ke Pengadilan dan didaftarkan, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan sementara untuk upaya perlindungan terhadap pemilik hak paten untuk mencegah kerugian yang lebih besar dalam hal ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain terhadap hak paten miliknya. Diatur dalam Pasal 125 Undang-Undang Tentang Paten.

Putusan Hakim akan bergantung kepada pembuktian para pihak yang hukum acaranya diatur dalam hukum acara perdata ditambah beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturannya.
Hukum acara khusus juga terkristal dalam kekhususan prosedur bagi penyelesaian sengketa dibidang hak paten di Pengadilan Niaga yaitu adanya tenggang waktu yang ketat:
1. Penyampaian gugatan kepada Ketua Pengadilan.
2. Mempelajari berkas gugatan dan menetapkan hari sidangnya.
3. Pemanggilan para pihak untuk bersidang.
4. Pemeriksaan di persidangan.
5. Putusan harus diucapkan paling lama dalam 90 hari setelah pendaftaran gugatan.
6. Penyampaian putusan kepada para pihak.

Putusan Pengadilan Niaga dalam sengketa hak paten terbuka upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kekhususan ditingkat Kasasi sebagai berikut :
1. Tenggang waktu pengajuan Kasasi : paling lambat 14 hari.
2. Tenggang waktu penyampaian Memori Kasasi : paling lambat 7 hari sejak tanggal permohonan.
3. Pengiriman Memori Kasasi kepada pihak Termohon Kasasi : paling lambat 2 hari setelah diterima Memori Kasasi.
4. Pengajuan Kontra Memori Kasasi paling lambat 7 hari setelah penerimaan Memori Kasasi. Pengiriman Kontra Memori Kasasi kepada pihak lawan (Pemohon Kasasi) paling lambat 2 hari.
5. Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah pengiriman Kontra Memori Kasasi tersebut di atas.
6. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara Kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 7 hari setelah permohonan Kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
7. Putusan Kasasi harus diucapkan paling lambat 90 hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
8. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7. hari setelah putusan Kasasi diucapkan.
9. Juru sita Pengadilan Niaga menyampaikan salinan putusan Kasasi kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga.

















KESIMPULAN
1.Penyelesaian sengketa HKI melalui peradila niaga.
Berdasarkan ketentuan pasal 280 uu nomor 4 tahun 1998 tentan kepailitan kompetensi pengadilan niaga pada dasarnya adalah untuk memeriksa dan memurtuskan perkara perkara :
d.                  Pernyataan permohonan pailit
e.                   Permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang
f.                   Perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan peraturan pemerintah.
HKI berdasarkan penjelasan pasal 66 uu nomor 30 tahun 1999 termasuk dalam ruang lingkup perdagangan dan perniagaan.
2.Penyelesaian sengketa HKI melalui pengadilan negri.
Mengingat tidak semua ada dibentuk pengadilan niaga, maka pengadilan negri dapat dipergunakan untuk menyelesaikan kasus kasus hki. Tata cara prosedur mengacu kepada ketentuan hukum perdata.
3.                  Penyelesaian sengketa hki melalui ADR
Selain melalui lembaga peradilan sengketa hki juga bisa diselesaikan melalui ADR, ADR yang paling umum dilakukan adalah dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
















DAFTAR PUSTAKA
Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6
Djubaedillah. R, Sejarah, Teori dan Praktek Hak Milik Intelektual di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Harapan, M. Yahya, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 19 Tahun 1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Rizawanto Wanita, Undang Undang Merek Baru 2001, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.



[1]file:///E:/tugas%20semester%205/tugas%20haki/Makalah%20%E2%80%9CEtika%20Pelanggaran%20Hak%20Kekayaan%20Intelektual%20di%20Indonesia%E2%80%9D%20%20%20Linda%20%20%20IS.htm
[2] http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=83376&lokasi=lokal
[3] Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Gama Media, Yogyakarta, 2006, hlm 5  
[4] Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 86 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar