Kamis, 12 Desember 2013

makalah hukum konsumen



BAB I
LATAR BELAKANG


Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan /atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi perluasan  ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang berasal dari luar negeri. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata
         YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen.

RUMUSAN MASALAH :
1.      Bagaimanakah sejarah pelindungan hukum konsumen dalam islam ?
2.      Bagaimanakah sejarah hukum konsumen dalam Internasional ?
3.      Bagaimanakah perkembangan hukum konsumen di Indonesia ?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    SEJARAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM ISLAM

Perlindungan atas Konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam hukum Islam.Islam melihat sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan semata melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum Islam perlindungan atas tubuh berkait dengan hubungan vertikal (Manusia dengan Allah) dan horizontal (Sesama manusia).
Dalam Islam melindungi manusia dan juga masyarakat sudah merupakan kewajiban negara sehingga melindungi konsumen atas barang-barang yang sesuai dengan kaidah Islam harus diperhatikan.
Menurut hemat penulis didalam islam tidak ada sejarah pergerakan perlindungan konsumen seperti yang terdapat di Indonesia maupun Barat dan juga tidak ada aturan secara eksplisit menyebut istilah konsumen, namun bila kita cermati beberapa ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw., maka secara tidak langsung kita akan menemukan beberapa ayat maupun hadits yang sifatnya sedikit mengarah kepada perlindungan konsumen.
1.      Tentang Riba
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
Hadits No. 850:
Jabir Radliyallaahu’anhu berkata: Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (Riwayat Muslim).

2.      Tentang Jual Beli
Hadits No. 849:
“Ibnu Umar RA berkata: ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda : “Jika engkau berjual-beli katakanla: Jangan melakukan tipu daya”. (Muttafaq Alaihi).
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW., yang kami tuliskan diatas memberikan indikasi bahwa didalam islam terdapat aturan tentang perlindungan konsumen walaupun tidak secara langsung menggunakan  istilah konsumen.

B.       Sejarah Perlindungan Konsumen Tingkat Internasional
Sejarah perkembangan perlindungan konsumen di indonesia tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan gerakan konsumen konsumen dinegara lain. Dalam artian bahwa pergerakan untuk memperjuangkan nasib para konsumen di negara negara lain khususnya di eropa dan amerika banyak mendorong inspirasi dan menggeloraka semangat negara kita untuk memperjuangkan hal yang sama bagi para konsumennya.
Sejarah pergerakan perlindungan konsumen, dapat di bagi dalam empat tahap perkembangan. Keempat tahapan itu dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Kurun pertama, yakni mulai tahun 1881 hingga 1914
Dalam kurun ini muncul suatu kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan memperjuangkan perlindungan konsumen. Kurun ini boleh dikatakan ditandai dengan terpicunya kesadaran demikian setelah terbitnya karya novelis upton sinclair dengan judul the jungle. Karya ini melukiskan bagaimana suatu pabrik pengolahan daging di amerika serikat secara acuh tidak menghiraukan standar-standar kesehatan yang seharusnya tetap dijaga oleh pemilik industri.
2.      Kurun kedua, yakni mulai tahun 1920 hingga 1940
Dalam kurun ini kembali suatu novel muncul yang mampu menggugah kesadaran konsumen. Karya novel itu dikarang oleh chase dan schlink yang berjudul your money’s worth. Berdasarkan gambaran gambaran novel ini, masyarakat konsumen mulai terhenyak dari kekurangsadarannya selama ini bahwa mereka sebagai konsumen memiliki hak yang patut dalam masalah komoditi yang dibeli. Di sinilah muncul slogan yang berbunyi : “fair deal, best buy!”
3.      Kurun ketiga, dari tahun 1950 hingga 1960
Pada tahun 1950an terbit suatu keinginan untuk menghimpun perlunya gerakan perlindungan konsumen secara internasional. Pada dasawarsa inilah kemudian berdiri sebuah organisasi konsumen bertaraf internasional bernama international organization of  consumer union (IOCU), dengan prakarsa dari wakil wakil para konsumen dari amerika serikat, inggris, belanda, australia dan belgia. Organisasi ini berdiri pada 1 april 1960.[1]
4.      Kurun keempat, masa setelah  tahun 1965
Masa ini disebut sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen karena ditandai dengan tumbuhnya secara mantap beberapa organisasi dengan tumbuhnya secara mantap beberapa organisasi perlindungan konsumen, ditingkat negara, regional dan internasional. Hingga kini dibentuk lima kantor regional, yakni dicile untuk wilayah amerika latin dan karibia, malaysia untuk wilayah asia dan pasifik, zimbabwe untuk wilayah afrika, inggris untuk wilayah eropa dan tengah, dan london untuk wilayah negara negara maju.

Negara Amerika Serikat, dalam sejarah kehidupan berkonsumen, diawali dengan kebiasaan tatkala mereka masih berada di Inggris. Di inggris sendiri pada waktu itu, telah diatur perlindungan bagi pembeli roti dan ale, yakni sejenis anggur sesuai dengan peraturan gereja. Pada waktu itu, di Inggris telah berlaku ketentuan sesuai common law, dimana pengadilan menghukum para pedagang yang melakukan destabilisasi harga, menurunkan mutu barang atau mengubah timbangan atau takaran yang sudah ditentukan.
Selanjutnya, dapat dicatat bahwa pada tahun 1563, diberlakukan The Statute of Apprentices yang pada dasarnya mengatur tentang upaya preventif atas praktik penipuan terhadap konsumen, dan sekaligus pula mengatur diterapkannya suatu standar kualitas bagi barang-barang yang diperdagangkan. Pengadilan perdata juga dijadikan sebagai sarana mempertahankan hak-hak hukum konsumen, terutama menyangkut transaksi sesuai hukum kontrak dan tort.
Sebagai negara yang menganut sistem peradilan common law dari Inggris, putusan-putusan hakim juga sangat berpengaruh kepada pengakuan hak-hak perlindungan konsumen. Antara lain putusan hakim Holmes dalam kasus Lochner vs Municipal New York pada tahun 1905 yang mengatakan bahwa sebuah konstitusi negara tidak dimaksudkan menganut suatu teori ekonomi khusus, apakah itu dalam hubungan paternalisme atau organik dari warga kepada masyarakat atau kepada Laissez fair. Dalam kasus McPherson vs Buick Motor Company, tahun 1916, yang dengan berani dan tegas tentang perlunya suatu perlindungan bagi konsumen yang seringkali mengalami kesulitan membuktikan kesalahan berada dipihak produsen.
Perkembangan cukup penting dapat dicatat tentang langkah-langkah negara ini mengantisipasi praktik periklanan yang tidak sehat. Pemerintah Federal pada tahun 1914 mengeluarkan sebuah regulasi dibidang periklanan, yang disebut dengan The Federal Trade Commision Act yang juga didukung dengan sebuah badan pengawasan independen, yang pada intinya undang-undang ini melarang praktik-praktik persaingan curang dalam perdagangan.
Perkembangan riset yang dilakukan untuk mendukung perlindungan konsumen, yaitu merupakan hasil suatu riset yang kemudian mempengaruhi secara luar biasa rakyat dan pengambilan keputusan di Amerika Serikat yang dilakukan Ralph Nader pada tahun 1966. Hasil riset tersebut kemudian dipublikasikan luas yang pada intinya menyatakan bahwa sebagian besar kendaraan bermotor yang dihasilkan industri dinegara itu mengabaikan keselamatan para pengendaranya.
General Motors sebagai perusahaan otomotif besar terpaksa mengalami pukulan berupaya untuk menangkis secara tidak simpatik, namun tidak menggoyahkan tekad Nader membela para konsumen. Hasil riset yang gemilang itu, Nader kemudian merintis suatu jaringan luas dalam rangka perjuangan konsumen, meliputi berbagai kalangan terutama para ahli hukum, kaum akademisi, parlemen, penulis, pemerintah dan mahasiswa.
Hasil kerja perjuangan Ralph Nader, berlangsung atau tidak, ternyata saat ini publikasi tentang perjuangan hak-hak konsumen telah sedemikian luasnya, antara lain Consumers Newsweek, Of Consuming Interest, Media and Consumer, Changing Times.[2] Tetapi yang paling mengesankan dari sejarah konsumen di Amerika Serikat ialah atensi dan kepedulian dari beberapa kepala negaranya yang cukup tinggi untuk menciptakan prinsip-prinsip penting atas perlindungan konsumen.
Presiden JF Kennedy terkenal dengan empat hak yang dirumuskan, yakni:
1.      Hak untuk mendapatkan keamanan
2.      Hak untuk mendapatkan informasi
3.      Hak untuk memilih
4.      Hak untuk didengar.
Keempat hak ini kemudian diakui secara internasional, termasuk oleh IOCU.
Kemudian LB Johnson, pengganti Presiden Kennedy, selain mengingatkan kembali tentang keempat konsep hak di atas, juga memperkenalkan konsep Product warranty dan Product liability. Pada tahun 1966 Presiden Johnson berhasil mengajukan sebuah rancangan undang-undang tentang lending charges dan packaging practices, yang disetujui Kongres pada masing-masing tahun 1967 dan 1968.[3]

C.    Sejarah Perjuangan Konsumen di Indonesia
Rangkai waktu perlindungan konsumen dinegara Indonesia, lebih banyak didekati dari aspek perkembangan produk hukum yang ada, termasuk pada zaman Hindia Belanda. Tentunya fase-fase perkembangan demikian, tidak disangkal akan adanya pengaruh perkembangan kehidupan konsumen diluar negeri.
·         Masa zaman Hindia Belanda
·         Masa setelah Kemerdekaan hingga tahun 1967
·         Masa tahun 1967 hingga 1974
·         Masa tahun 1974 hingga sekarang.

1.      Masa Zaman Hindia Belanda
Pada masa zaman Hindia Belanda, upaya perlindungan konsumen telah tampak melalui rumusan pasal-pasal dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Meskipun misalnya rumusan-rumusan yang ada tersebut tidak secara eksplisit menyebut istilah konsumen, produsen atau pelaku usaha, namun secara hakiki objek pengaturannya adalah berkaitan pula terhadap konsumen atau pihak pelaku usaha.
Pengaturan tentang perlindungan konsumen pada zaman ini dapat dilihat antara lain pada: (1). Burgerlijk Wetboek (BW), yakni kitab Undang-undang Hukum Perdata. (2). Wetboek van Strafsrecht (WvS), yakni kitab Undang-undang Hukum Pidana. (3). Wetboek van Koophandel (WvK), yakni kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), keduanya berlaku di Hindia Belanda tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Staatsblad No. 23 Tahun 1847. Kedua kitab Undang-undang ini dulunya hanya berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan. Namun, saat ini berlaku di Indonesia dengan segala penyesuaiannya bagi semua golongan penduduk. Daya ikat KUHPerdata menjadi berkurang tatkala dengan keluarnya SEMA No. 3 Tahun 1963.
Beberapa hal yang diatur tentang persoalan konsumen adalah tentang hak dan kewajiban dalam melakukan sesuatu perjanjian atau transaksi, yang diletakkan dalam Buku III Van Verbintennissen (tentang Perikatan). Dimuat tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, tentang risiko jenis-jenis perkatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya dan berbagi bentuk perikatan yang dapat diadakan.
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu setelah dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Berdasarkan adanya wanprestasi, pihak yang dirugikan karena wanprestasi itu berhak menggugat ganti rugi, biaya, dan bunga.[4]
Dalam kaitannya dengan keberlakuan kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dapat dilihat pada pasal 1319 KUHPdt. Pasal ini mengatakan bahwa: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Dalam Pasal 1 KUHD:”Kitab Undang-undang hukum perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab Undang-undang ini”.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafsrecht)yang berlaku secara unifikasi di Indonesia tahun 1918, dalam pasal-pasalnya mengatur tentang kepentingan konsumen , sekalipun dalam rumusan pasal-pasal itu tidak ada menyebut kata konsumen atau pelanggan. Pasal-pasal dimaksud ialah pasal 204, pasal 205, pasal 359, pasal 360, pasal 382 bis, pasal 383, pasal 390.[5]



2.      Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1967
Gerakan kepedulian tentang nasib konsumen di Indonesia dalm kurun waktu ini belum tampak jelas. Akan tetapi, jika dilihat baik dari sudut perkembangan legislasi maupun kepedulian pengadilan, terlihat tanda-tanda perkembangan tentang adanya kesadaran perlindungan konsumen sebagaimana kenyataan berikut ini:
a.       Dari sudut Legislasi
Dari sudut peraturan perundang-undangan dapat dilihat beberapa produk perundangan yang sudah dibuat seperti, dibawah ini:
·         Undang-undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti. Undang-undang No. 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-undang. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia. Dalam Pasal 2 ayat 4 UU ini ditentukan tentang pemberian nama dan atau tanda-tanda menunjuk pada label dari barang bersangkutan.
Dengan nama atau tanda-tanda tersebut dapat dilihat asal, sifat, susunan bahan, bentuk dan banyaknya serta kegunaannya. Pelanggaran ketentuan ini berarti dapat disebut sebagai tindakan pidana ekonomi.
·         PP No. 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri. PP ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 10 Tahun 1961, yang pada intinya mengatur tentang cara mendesain dan mengolah bahan-bahan untuk industri, menetapkan jenis, bentuk, ukuran, mutu atau pengamanan barang-barang industri, serta mengatur tentang mencoba, menganalisis, memeriksa dan menguji hasil-hasil industri.
·         Undang-undang No. 1 Tahun 1964 tentang Penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok perumahan. UU ini sudah dibarui setelah diundangkannya UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah susun, beserta PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah susun sebagai peraturan organiknya.[6]



b.      Dari Sudut Perkembangan Yurisprudensi
Dalam kurun periode ini terdapat perkembangan yurisprudensi yang bervariasi tentang kepentingan konsumen. Sebagai contoh dapat dikemukakan melalui kasus-kasus berikut ini:
·         Kasus perikatan atas transaksi jual beli barang dalam Putusan Mahkamah Agung Tanggal 27 Agustus 1958 No. 314 K/Sip/1957 antara Go To Liong (pembeli) menggugat Oei Tjoe (penjual).
·         Kemudian kasus perjanjian sewa beli (huurkoop overeenkomst)9 antara NV Handel Maatshcappij I’Auto sebagai penggugat vs GG Jordan sebagai tergugat. Jika Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya tidak dapat menerima gugatan tersebut dengan pertimbangan, perjanjian sewa beli adalah perjanjian jual beli dengan pembayaran secara angsuran, maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa selama pembayaran angsuran belum lunas, pemilikan masih tetap berada pada penjual. Oleh karenanya keadaan memaksa (overmacht) yang didalilkan tergugat tidak dapat diterima karena saatv pengambilan kendaraan itu oleh Jepang adalah diluar saat cicilan harus dilunasi. Disini Peradilan banding menerima gugatan penggugat. Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan pengadilan tinggi telah memberikan penilaian bahwa telah terbukti menurut perjanjian sewa beli, risiko hilangnya barang karena overmacht menjadi tanggung jawab penyewa beli. Penilaian suatu perjanjian mengenai suatu kenyataan (feitelijkheid), keberatan pemohon kasasi semacam ini tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim yang hanya memberikan pertimbangan keberatan-keberatan mengenai hukum dan dalam perkara ini tidak ada hukum yang dilanggar.[7]

3.      Kurun Periode Tahun 1967 hingga 1974
Periode ini ditandai dengan hadirnya investasi yang amat pesat di Indonesia, baik dilakukan secara joint venture maupun melalui investasi dalam negeri. Keren investasi secara pesat dibuka setelah dikeluarkannya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) berdasarkan UU No. 1 Tahun 1967 dan Undang-undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berdasarkan UU No. 11 Tahun 1968. Pada periode ini pemerintah Orde Baru lebih menitikberatkan ekonomi sebagai sektor utama dalam merintis pembangunan.
Dalam kurun waktu ini masyarakat konsumen semakin sadar akan kepentingan dan hak-haknya untuk mendapatkan produk yang aman dan bebas dari kecurangan-kecurangan para produsen. Organisasi konsumen berdiri dengan nama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) didirikan sesuai dengan akta pendiriannya dihadapan Notaris GHS Lumban Tobing tanggal 11 Mei 1973.
YLKI berdiri tatkala sekelompok kecil masyarakat yang pada mulanya hanya mempromosikan produk Indonesia. Pada saat itulah timbul ide untuk mendirikan organisasi konsumen setelah melihat kenyataan-kenyataan bagaimana konsumen menderita sebagai silent victim tanpa ada yang menyuarakan, membela dan peduli atas kerugian-kerugian mereka.
YLKI boleh dikatakan mempunyai pengaruh yang cukup berarti dan suaranya kemudian banyak dipertimbangkan pengambil keputusan dikala menyangkut hal-hal yang merugikan konsumen baik yang menyangkut kesehatan maupun nasib ekonomi rakyat seperti kenaikan harga, tarif listrik, BBM, tol, telepon, dan sebagainya.
Organisasi ini banyak memiliki cabang diseluruh Indonesia. YLKI aktif sekali dalam seminar atau diskusi baik secara nasional maupun internasioanal dan sangat gigih memperjuangkan perlunya RUU tentang konsumen dan hasilnya ialah diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

4.      Masa Tahun 1974 Hingga Sekarang
Masa ini boleh dikatakan sebagai kurun waktu yang paling progresif bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Bukan saja karena kurun sekarang, pembangunan Indonesia telah mencapai perkembangan yang terpesat dari kurun-kurun sebelumnya dimana sempat dicanangkan bahwa diantara rentang kurun ini sempat dicanangkan era tinggal landas pada akhir dekade 90an pada masa rezim Soeharto.
Tetapi tidak dapat dicatat pula bahwa pada kurun waktu inilah mulai nampak dampak-dampak dari kebijakan pembangunan periode sebelumnya tatkala negara kita mencanangkan ekonomi industri kapitalis. Suara-suara pencemaran lingkungan terdengar dimana-mana dipenjuru pelosok, kerusakan-kerusakan sumber-sumber alam terjadi diberbagai tempat dan dibidang perlindungan konsumen semakin dirasakan bagaimana para produsen tidak jarang menjadikan para konsumen sebagai objek keserakahan ekonominya. Ada tiga hal yang menandai kurun waktu ini, yakni:
·         Bermunculan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat.
Kurun ini tumbuh berbagai organisasi swadaya (LSM) dibidang konsumen diseluruh Indonesia sebagai reaksi atas munculnya berbagai problema sosial dibidang konsumen. Kini ada sedikitnya 22 organisasi perlindungan konsumen di Indonesia, 12 diantaranya terdapat di Jakarta.
Terdapat pula berbagai bidang khusus perlindungan seperti dalam bidang konsumen perumahan, konsumen telepon, konsumen transportasi, konsumen listrik, konsumen migas, konsumen obat-obatan. Organisasi-organisasi ini sudah lama berdiri YLKI di Jakarta, tampil umumnya diberbagai ibukota provinsi seperti Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, Ujungpandang dengan variasi aktivitas.
Seperti penelitian atau pengkajian tentang produk-produk yang dipasarkan, aktif melakukan diskusi dan pendidikan dan penerangan kepada masyarakat, melakukan kegiatan advokasi dan membuka konsultasi hukum dalam hal perlindungan konsumen.
Keaktifan organisasi konsumen Indonesia dalam perjuangan konsumen, menjadikan dari Indonesia terpilih, yakni Erna Witoelar sebagai Presiden International   Organization of Consumers Unions (IOCU).
·         Tumbuhnya Kebijakan Hukum
Kurun ini ditandai pula dengan hadirnya kebijakan hukum dan peraturan perundang-undangan cukup banyak diproduksi pada kurun masa ini untuk melindungi konsumen dalam berbagai sektor. Terutama ialah:
a.       UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
b.      UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
c.       UU No 5 tahun 1984 tentang perindustrian.
d.      UU No 23 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan
e.       UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
f.       UU No 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil.
Kurun kelahiran UUPK
Kurun ini merupakan kurun sejarah yang amat penting, dengan lahirnya undang undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). UU no 8 tahun 1999 diundangkan pada tanggal 20 april 1999 melalui lembaran negara no 42 tahun 1999. Menurut pasal 65, UU ini baru mulai berlaku satu tahun sejak diundangkan.
UU boleh dikatakan mempunyai makna yang sangat ganda bagi perlindungan konsumen sebagai suatu produk hukum utama yang dapat menjadi umbrella provision bagi ketentuan perlindungan konsumen. UU ini merupakan kebanggaan bagi para pejuang pejuang konsumen karena dari sejak lama mereka sudah menunggu-nunggu hadirnya sebuah undang undang konsumen. Keistimewaan dari UU ini menurut hemat penulis adalah karena:
§  Muatannya komprehensif.
§  Seluruhnya mengatur tentang kepentingan perlindungan konsumen.
§  Memuat sarana-sarana yang berfungsi untuk memberdayakan konsumen seperti hak-hak konsumen, kewajiban para produsen, dilarangnya mencantumkan klausul baku pada dokumen atau perjanjian institusi perlindungan konsumen nasional
§  Diakuinya lembaga swadaya masyarakat konsumen
§  Dibentuknya kelembagaan pengawasan konsumen
§  Adanya lembaga “Peradilan Intern” konsumen
§  Dimungkinkannya kelembagaan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution)
§  Diintrodusirnya sistem class actions dan legal standing dalam hukum acara peradilan untuk sengketa konsumen.

UU ini dilengkapi dengan berbagai paket peraturan pelaksanaanya, yakni :
§ Peraturan pemerintah no 57 tahun 2001 tentang badan perlindungan konsumen nasional (BPKN)
§ Peraturan pemerintah no 58 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen
§ Peraturan pemerintah no 59 tahun 2001 tentang lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
§ Keputusan presiden no 90 tahun 2001 tentang pembentukan badan penyelesaian sengketa konsumen di medan, palembang, jakarta pusat, jakarta barat, bandung, semarang, yogyakarta, malang, surabaya, dan Makassar.’
Mengingat usia UU dan berbagai peraturan pelaksananya tersebut yang masih muda, maka berbagai kalangan seperti instansi perdagangan, perindustrian, kesehatan, dan instansi terkait lainnya, para relawan konsumen (LSM), kelompok advokasi konsumen, masih sangat dituntut aktivitasnya untuk mensosialisasi dan mengimplementasikan “barang baru” ini, sehingga kelihatan dayagunanya di tengah masyarakat.







BAB III
KESIMPULAN

Sejarah perkembangan perlindungan konsumen di indonesia tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan gerakan konsumen konsumen dinegara lain. Dalam artian bahwa pergerakan untuk memperjuangkan nasib para konsumen di negara negara lain khususnya di eropa dan amerika banyak mendorong inspirasi dan menggeloraka semangat negara kita untuk memperjuangkan hal yang sama bagi para konsumennya.
Rangkai waktu perlindungan konsumen dinegara Indonesia, lebih banyak didekati dari aspek perkembangan produk hukum yang ada, termasuk pada zaman Hindia Belanda. Tentunya fase-fase perkembangan demikian, tidak disangkal akan adanya pengaruh perkembangan kehidupan konsumen diluar negeri.
·      Masa zaman Hindia Belanda
·      Masa setelah Kemerdekaan hingga tahun 1967
·      Masa tahun 1967 hingga 1974
·      Masa tahun 1974 hingga sekarang.















DAFTAR PUSTAKA

1.Nasution Az: Konsumen dan Hukum; Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1995.
2.Nasution Az: Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu pengantar; Penerbit Daya Widya, 1999.
3.Syawal, Husni: Hukum Perlindungan Konsumen; Penerbit Mandor Maju, Bandung, 2000
4.Shidarta: Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit Grasindo, 2000


[1] International organization of consumer union (IOCU), setelah tahun 1995, organisasi ini berganti nama menjadi consumer international (CI) yang kini berpusat di london
[2] Shidarta : opcit halaman 39
[3] Aw troe legal standingtrup
[4] Az nasution : hukum perlindungan konsumen, suatu pengantar, penerbit daya widya hal 76
[5] Shidarta : opcit hal 82-83
[6] Hingga kini dalam kuh perdata belum diatur tentang huurkoop overeenkomst dan merupakan hukum kebiasaanyang di praktikkan dalam perdagangan.
[7] Az nasution : opcit hal 96-97

1 komentar: