BAB
I
LATAR
BELAKANG
Perubahan yang sangat penting dalam sistem peradilan di Indonesia di bidang
Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property right), atau yang
biasa dan selanjutnya disebut HaKI dalam tulisan ini, adalah dibentuknya
Pengadilan Niaga yang dapat menyelesaikan sengketa perdata di bidang HaKI.
Penyelesaian sengketa perdata di bidang HaKI melalui pengadilan niaga dengan
hakim-hakim yang khusus merupakan hal yang baru yang dapat diharapkan untuk
menyelesaikan permasalahan secara tepat waktu dengan tetap menjunjung tinggi
penegakan hukum dan bersikap adil serta dapat memenuhi harapan masyarakat[1].
Dalam undang-undang HaKI telah mengatur time frame untuk
kepastian hukum dalam interval waktu penyelesaian sengketa. Hal ini guna untuk
mengimplimentasikan hasil kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang HaKI
yang diikuti oleh Indonesia. Kesepakatan internasional merekomendasikan bahwa
penyelesaian sengketa di bidang HaKI harus dilakasanakan dalam waktu yang
singkat.
Indonesia telah memperaktekkan kesepakatan itu, di mana dalam penyelesaian
sengketa di bidang HaKI diselesaikan melalui Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga
adalah pengadilan khusus yang mengadili permasalahan dalam bidang ekonomi dan
bisnis, misalnya dari awal memasukkan perkara sampai dengan putusan di
Pengadilan Niaga diberikan waktu 90 hari untuk Hak Citpa dan Merek dan 180 hari
atau setengah tahun untuk Paten.
banyak
sekali terjadi pelanggaran hak kekayaan intelektual yang terjadi di dunia
bisnis baik di luar negeri maupun di Indonesia. Beberapa contoh pelanggaran hak
kekayaan intelektual tersebut terjadi dalam bentuk pencurian ide ataupun
plagiat pada suatu produk maupun merk terntetu.Maka dari itu makalah ini akan
membahas mengenai tsengketa dan cara penyelesaian hak kekayaan intelektual yang
terjadi di Indonesia.
Rumusan
Masalah :
1.
Bagaimana penyelesaian sengketa hak
kekayaan intelektuan di indonesia ?
2.
Bagaimana penyelesaian sengketa HAKI
terkait hak cipta, hak merk, hak paten ?
BAB II
PEMBAHASAN
Sengketa hki timbul karena terjadi pelanggaran
kepemilikan hki oleh pihak orang lain, yaitu menggunakan atau memanfaatkan
secara melawan hukum tanpa persetujuan pemiliknya, di negara kita banyak sekali
terjadi pelanggaran HKI.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa HKI dapat dilakukan melalui jalur
litigasi yakni peradilan dalam hal ini melalui peradilan negri dan peradilan
niaga dan melalui jalur non litigasi (ADR).
1.
Penyelesaian sengketa HKI melalui
peradila niaga
Berdasarkan ketentuan pasal 280 uu nomor 4 tahun 1998 tentan kepailitan
kompetensi pengadilan niaga pada dasarnya adalah untuk memeriksa dan
memurtuskan perkara perkara :
a.
Pernyataan permohonan pailit
b.
Permohonan penundaan kewajiban
pembayaran hutang
c.
Perkara lain dibidang perniagaan yang
penetapannya dilakukan dengan peraturan pemerintah.
HKI berdasarkan
penjelasan pasal 66 uu nomor 30 tahun 1999 termasuk dalam ruang lingkup
perdagangan dan perniagaan.
2.
Penyelesaian sengketa HKI melalui
pengadilan negri.
Mengingat tidak semua ada dibentuk pengadilan niaga, maka pengadilan negri
dapat dipergunakan untuk menyelesaikan kasus kasus hki. Tata cara prosedur
mengacu kepada ketentuan hukum perdata.
3.
Penyelesaian sengketa hki melalui ADR
Selain melalui lembaga peradilan sengketa hki juga bisa diselesaikan
melalui ADR, ADR yang paling umum dilakukan adalah dengan cara negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Pada
era perdagangan global saat ini, Hak Kekayaan Intelektual merupakan permasalahan
yang penting karena berhubungan dengan masalah ekonomi dan kegiatan bisnis.
Indonesia saat ini mengakui adanya Hak Kekayaan Intelektual dengan meratifikasi
Konvensi Hak Kekayaan Intelektual dan Konvensi pembentukan World Trade
Organization (WTO) yang berisi tentang TRIPS (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights). Setelah meratifikasi konvensi tersebut
Indonesia membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hak
Kekayaan Intelektual antara lain :
1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
2.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
3.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
4.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
5.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
6.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
7.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Pengadilan
Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran
utang serta perkara lain dibidang perniagaan.
Untuk pertama kalinya Pengadilan
Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya
berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999 dibentuk 4 (empat)
Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang
(Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus
wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara,
Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.[1]
Sebagai Hakim Niaga yang
memeriksa sengketa HKI harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni
:
Apakah termasuk objek yang
dilindungi..
Apakah memenuhi persyaratan yang
dilindungi.
Apakah terdaftar di negara
tujuan dimana perlindungan diharapkan.
Sedangkan penyebab perselisihan
dalam sengketa HKI lazimnya adalah :
Penggunaan HKI tanpa seizin pemilik.
Tidak dipenuhinya perjanjian
lisensi HKI.
1.
Cara penyelesaian sengketa HAKI mengenai hak cipta
a.
Dasar hukum hak cipta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu
pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara
eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara
bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk
yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum HAK CIPTA :
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor
6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor
6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
Indonesia sebagai salah satu
Negara yang telah meratifikasi Persetujuan TRIPs melalui Persetujuan WTO,
mempunyai konsekwensi untuk
menerapkan TRIPs didalam Undang-undang Hak Ciptanya. Hal tersebut
telah dilakukan Indonesia
dengan menyesuaikan Undang-undang Hak Ciptanya dengan Ketentuan didalam
TRIPs. Penyesuaian yang
paling akhir adalah dibuatnya Undang-undang Hak Cipta yang baru yaitu
Undang-undang Nomor 19 tahun
2002. Isi dari Undang-undang ini pada dasarnya merupakan penerapan dari
ketentuan minimal yang ada
didalam persetujuan TRIPs.
Dalam rangka penyelesaian sengketa
hak cipta, Undang-undang hak cipta menentukan dapat dilakukan melalui jalur
litigasi dari alternatif penyelesaian sengketa. Maksudnya jalur litigasi adalah
melalui proses perdata dan pidana. Dalam memeriksa pelanggaran hak cipta
melalui jalur perdata, dasar hukumnya adalah Undang-undang Hak Cipta. Apabila
Undang-undang Hak Cipta tidak mengaturnya, maka yang berlaku adalah KUHPerdata
untuk hukum materilnya dan HIR untuk Hukum formilnya.
Memeriksa pelanggaran hak cipta
melalui jalur pidana, dasar hukunmya adalah Undang-undang Hak Cipta. Apabila
Undang-undang Hak Cipta tidak mengaturnya, maka yang berlaku adalah Hukum
pidana umum yaitu, KUHP untuk hukum materiiInya dan KUHAP untuk hukum formilnya.
Alternatif penyelesaian
sengketa yang diuraikan disini hanya Arbitrase dan Mediasi, karena cara ini
yang paling dikenal di Indonesia. Sementara itu Mediasi merupakan salah satu
bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sedang dikembangkan di peradilan
di Indonesia.
Pengaturan pelanggaran hak cipta dari
aspek pidana
1.
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
3.
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Dari pasal
tersebut sudah jelas bahwa yang namanya melanggar itu akan dikenakan denda
pidana maupun secara komersial hal ini kembali lagi pada masing-masing orang.
apakah kita mau menjiplak hasil karya orang lain yang akan kena denda dari
pasal tersebut atau mengjasilkan suatu karya sendiri dengan atas hak cipta yang
kita buat.[2]
2.
Cara penyelesaian HAKI mengenai merk
Penyelesaian
sengketa terhadap merek diatur di dalam hukum indonesia antara lain :
1. Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute
Resolution)
Penyelesaian
Sengketa Alternatif dalam penyelesaian sengketa merek diatur dalam Pasal 84
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, selain dalam Undang-Undang
Merek penyelesaian sengketa alternatif lebih khusus diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Alternatif.
Menurut
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang dimaksud dengan
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi.
a. Negosiasi
Menurut Pasal 6
ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak
untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan
mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk
tertulis yang disetujui oleh para pihak[3].
Negosiasi
merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi
dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang
bersengketa yang secara langsung melakukan perundingan atau tawar-menawar
sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa
sudah barang tentu telah berdiskusi atau bermusyawarah sedemikian rupa agar
kepentingan-kepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan/
kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya kesepakatan bersama
tersebut dituangkan secara tertulis.8
b. Mediasi
Mediasi
merupakan salah satu penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga
(mediator) yang tidak memihak (imparsia) yang turut aktif memberikan
bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian. Namun ia tidak berfungsi
sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif penyelesaian tetap
berada pada tangan para pihak yang bersengketa.
Dalam
kaitan dengan Mediasi menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 menyatakan atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan ”seorang atau lebih penasehat ahli”
maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk
dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis, wajib didaftarkan ke
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penandatanganan dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak pendaftaran.
c. Konsiliasi
Konsiliasi
adalah suatu proses penyelesaian sengketa alternatif yang melibatkan seorang
pihak ketiga atau lebih, dimana pihak ketiga yang diikutsertakan untuk
menyelesaikan sengketa adalah seseorang yang secara profesional sudah dapat
dibuktikan kehandalannya.
2. Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian
sengketa dilakukan melalui pengadilan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga oleh pihak pemilik
merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa
hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis, yaitu :[4]
a. Gugatan ganti rugi, dan/ atau
b. Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan dengan
menggunakan
merek tersebut.
Selain
melalui Pengadilan Niaga penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan di
Pengadilan Negeri dengan perkara pidana dimana Undang-undang Merek memberikan
ancaman pidana kepada setiap orang yang menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya ataupun yang sama pada pokoknya. Kedua bentuk perbuatan ini
diklasifikasikan sebagai kejahatan. Besarnya ancaman pidana,ditentukan dalam
ketentuan Pasal 90 dan Pasal 91, sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/
atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 91 :
“Barangsiapa
dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan
Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/ atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah)”.
3.
Cara
penyelesaian HAKI mengenai Hak Paten
Dasar Hukum HAK PATEN :
- UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
- UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
Penyelesaian sengketa hak paten
melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 117 Undang – Undang paten yang mana
pihak yang berhak atau yang menjadi subjek paten (diatur dalam Pasal 10, Pasal
11, dan Pasal 12) dapat menggugat kepada pengadilan niaga jika suatu paten
diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak.
Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa paten harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :
1. Apakah termasuk objek yang dilindungi.
2. Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan.
3. Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.
4. Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.
5. Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa hak paten lazimnya adalah :
- Ketidak jelasan status kepemilikan.
- Penggunaan hak paten tanpa seizin pemilik.
- Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi hak paten.
Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa paten diharapkan keadilan benar – benar tercapai dan memuaskan. Idealnya setiap putusan Hakim mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. Unsur kepastian hukum.
2. Unsur kemanfaatan.
3. Unsur keadilan.
Sebelum suatu perkara hak paten masuk ke Pengadilan dan didaftarkan, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan sementara untuk upaya perlindungan terhadap pemilik hak paten untuk mencegah kerugian yang lebih besar dalam hal ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain terhadap hak paten miliknya. Diatur dalam Pasal 125 Undang-Undang Tentang Paten.
Putusan Hakim akan bergantung kepada pembuktian para pihak yang hukum acaranya diatur dalam hukum acara perdata ditambah beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturannya.
Hukum acara khusus juga terkristal dalam kekhususan prosedur bagi penyelesaian sengketa dibidang hak paten di Pengadilan Niaga yaitu adanya tenggang waktu yang ketat:
1. Penyampaian gugatan kepada Ketua Pengadilan.
2. Mempelajari berkas gugatan dan menetapkan hari sidangnya.
3. Pemanggilan para pihak untuk bersidang.
4. Pemeriksaan di persidangan.
5. Putusan harus diucapkan paling lama dalam 90 hari setelah pendaftaran gugatan.
6. Penyampaian putusan kepada para pihak.
Putusan Pengadilan Niaga dalam sengketa hak paten terbuka upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kekhususan ditingkat Kasasi sebagai berikut :
1. Tenggang waktu pengajuan Kasasi : paling lambat 14 hari.
2. Tenggang waktu penyampaian Memori Kasasi : paling lambat 7 hari sejak tanggal permohonan.
3. Pengiriman Memori Kasasi kepada pihak Termohon Kasasi : paling lambat 2 hari setelah diterima Memori Kasasi.
4. Pengajuan Kontra Memori Kasasi paling lambat 7 hari setelah penerimaan Memori Kasasi. Pengiriman Kontra Memori Kasasi kepada pihak lawan (Pemohon Kasasi) paling lambat 2 hari.
5. Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah pengiriman Kontra Memori Kasasi tersebut di atas.
6. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara Kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 7 hari setelah permohonan Kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
7. Putusan Kasasi harus diucapkan paling lambat 90 hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
8. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7. hari setelah putusan Kasasi diucapkan.
9. Juru sita Pengadilan Niaga menyampaikan salinan putusan Kasasi kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga.
Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa paten harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :
1. Apakah termasuk objek yang dilindungi.
2. Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan.
3. Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.
4. Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.
5. Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa hak paten lazimnya adalah :
- Ketidak jelasan status kepemilikan.
- Penggunaan hak paten tanpa seizin pemilik.
- Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi hak paten.
Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa paten diharapkan keadilan benar – benar tercapai dan memuaskan. Idealnya setiap putusan Hakim mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. Unsur kepastian hukum.
2. Unsur kemanfaatan.
3. Unsur keadilan.
Sebelum suatu perkara hak paten masuk ke Pengadilan dan didaftarkan, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan sementara untuk upaya perlindungan terhadap pemilik hak paten untuk mencegah kerugian yang lebih besar dalam hal ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain terhadap hak paten miliknya. Diatur dalam Pasal 125 Undang-Undang Tentang Paten.
Putusan Hakim akan bergantung kepada pembuktian para pihak yang hukum acaranya diatur dalam hukum acara perdata ditambah beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturannya.
Hukum acara khusus juga terkristal dalam kekhususan prosedur bagi penyelesaian sengketa dibidang hak paten di Pengadilan Niaga yaitu adanya tenggang waktu yang ketat:
1. Penyampaian gugatan kepada Ketua Pengadilan.
2. Mempelajari berkas gugatan dan menetapkan hari sidangnya.
3. Pemanggilan para pihak untuk bersidang.
4. Pemeriksaan di persidangan.
5. Putusan harus diucapkan paling lama dalam 90 hari setelah pendaftaran gugatan.
6. Penyampaian putusan kepada para pihak.
Putusan Pengadilan Niaga dalam sengketa hak paten terbuka upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kekhususan ditingkat Kasasi sebagai berikut :
1. Tenggang waktu pengajuan Kasasi : paling lambat 14 hari.
2. Tenggang waktu penyampaian Memori Kasasi : paling lambat 7 hari sejak tanggal permohonan.
3. Pengiriman Memori Kasasi kepada pihak Termohon Kasasi : paling lambat 2 hari setelah diterima Memori Kasasi.
4. Pengajuan Kontra Memori Kasasi paling lambat 7 hari setelah penerimaan Memori Kasasi. Pengiriman Kontra Memori Kasasi kepada pihak lawan (Pemohon Kasasi) paling lambat 2 hari.
5. Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah pengiriman Kontra Memori Kasasi tersebut di atas.
6. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara Kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 7 hari setelah permohonan Kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
7. Putusan Kasasi harus diucapkan paling lambat 90 hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
8. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7. hari setelah putusan Kasasi diucapkan.
9. Juru sita Pengadilan Niaga menyampaikan salinan putusan Kasasi kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga.
KESIMPULAN
1.Penyelesaian
sengketa HKI melalui peradila niaga.
Berdasarkan ketentuan pasal 280 uu nomor 4 tahun 1998 tentan kepailitan
kompetensi pengadilan niaga pada dasarnya adalah untuk memeriksa dan
memurtuskan perkara perkara :
d.
Pernyataan permohonan pailit
e.
Permohonan penundaan kewajiban
pembayaran hutang
f.
Perkara lain dibidang perniagaan yang
penetapannya dilakukan dengan peraturan pemerintah.
HKI berdasarkan
penjelasan pasal 66 uu nomor 30 tahun 1999 termasuk dalam ruang lingkup
perdagangan dan perniagaan.
2.Penyelesaian sengketa HKI melalui pengadilan negri.
Mengingat tidak semua ada dibentuk pengadilan niaga, maka pengadilan negri
dapat dipergunakan untuk menyelesaikan kasus kasus hki. Tata cara prosedur
mengacu kepada ketentuan hukum perdata.
3.
Penyelesaian sengketa hki melalui ADR
Selain melalui lembaga peradilan sengketa hki juga bisa diselesaikan
melalui ADR, ADR yang paling umum dilakukan adalah dengan cara negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA
Hukum
Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi.
Syafrinaldi. 2010. UIR Press. ISBN 979-8885-40-6
Djubaedillah. R, Sejarah,
Teori dan Praktek Hak Milik Intelektual di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003
Harapan, M. Yahya, Tinjauan
Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang Undang No. 19
Tahun 1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Rizawanto Wanita, Undang
Undang Merek Baru 2001, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
[1]file:///E:/tugas%20semester%205/tugas%20haki/Makalah%20%E2%80%9CEtika%20Pelanggaran%20Hak%20Kekayaan%20Intelektual%20di%20Indonesia%E2%80%9D%20%20%20Linda%20%20%20IS.htm
[2]
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=83376&lokasi=lokal
[4]
Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian
Sengketa, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar